Friday, 18 March 2016

RUMUS/ MUTIFATOR



RUMUS/ MUTIFATOR
1.      Hidup tubuh karena nyawa,hidup nyawa karena Allah.
2.      Tahu hati karena tahu Ruh, tahu Ruh karena Allah.
3.      Kuasa anggota tubuh karena Ruh, kuasa Ruh karena kuasa Allah.
4.      Berkehendak puad kerena berkehendak Ruh, berkehendak Ruh karena berkehendak Allah.
5.      Mengdengar telinga karena mendengar Ruh, mendengar Ruh karena mendengar Allah.
6.      Melihat mata karena melihat Ruh, melihat Ruh karena melihat Allah.
7.      Berkata mulut karena berkata Ruh, berkata Ruh karena berkata Allah.
Maka kita rumuskan pula tentang diri bathin itu sebagai berikut dibawah ini :
1.      Wujud bathin,hakikatnya adalah wujud Allah.kepada kita jadi Rahasia. Maksudnya tentang Zat Tuhan itu tidak dapat dilihat dan diraba, hanya dengan nur iman dan dirasakan oleh sinar hati. Inilah yang dimaksud oleh hadits yang berbunyi : Al insanu sirri wa ana sirrohu. Artinya : insane itu rahasiaku , dan akupun rahasianya.
2.      Ilmu bathin, hakikatnya adalah sifat Allah, yang kepada kita menjadi nyawa/Ruh. Dan ruh itulah tempat majhor sifat-sifat Allah. Hingga dia kuasa memerintahkan jasad dan lain2nya.
3.      Nur bathin, hakikatnya Asma Allah, yang kepada kita menjadi hati. Maksudnya hati itu adalah tempat majhor daripada Asma Allah.
4.      Syuhud bathin, hakikatnya adalah Afal Allah, yang kepada kita menjadi batang tubuh. Maksunya batang tubuh kita ini adalah tempat majhor dan tempat nyata perbuatan Allah. Jalannya adalah bahwa segala amal usaha lahir yang dilakukan ole manusia. Tapi pada hakikatnya dan pada bathinnya adalah semata-mata perbuatan Allah.
Maka hal itu dinamakan penyaksian Bathin. Karena amal usaha jahir itulah yang membuktikan perbuatan bathin. Itulah yang member bekas, kerena terjadi dari sifat bathin, yang tidak bias lepas dari ujudnya : yakni Zatnya yang maha kuasa. Demikianlah yang dinamakan tauhidul Zat, tauhidul Sifat, tuahidul Asma, tauhidul Af’al. maka melihat sesuatu apa saja perbuatan Allah.
Maka dengan demikian fana lah yang lain : yakni ujud lahir dan sifat lahir,dikala itu tidak ada yang ada kecuali bathin. Maka sekaran bathinlah yang melihat bathin/melihat gerakan Zat. Dari itu maka jelaslah sekarang kepada kita bahwa yang memandang ia  yang memandang. Dan kalau sudah mantap pandangan ini, dengan sendirinya naiklah ke makam baqabillah. Karena pada makam ini seperti ucapan ahli tasawuf, BAQA itu ialah daripada Allah, dan dengan Allah.
Cara pandangan itu ada dua macam,pertama :
SYUHUDUL WAHDAH FIL KASRAH artinya : memandang yang satu kepada yang banyak. Dimana pokok pandangan dimulai dari syuhud bathin, naik kepada Nur bathin, dan kepada ilmu bathin. Dan akhirnya sampai kepada ujud bathin.
Pandangan kedua ialah : SYUHUDUL KASRAH FIL WAHDAH, Artinya : memandang banyak kepada yang satu. Pandangan ini dimulai pada pangkal pertama yakni ujud bathin yang hakikatnya Zat semata-mata dan Zat yang satu itulah yang menerbitkan ilmu bathin ; yakni Sifat. Dan juga Nur bathin yakni Asma. Bahkan syuhud bathin yakni Af’al. maka apabila yang banyak itu berasal dari yang satu :akhirnya akan kembali juga kepada yang satu. Dan apabila sekarang kita sudah kembalikan,maka tidak ada lagi ujud kecuali Allah semata. Tamsil, cahaya terang itu adalah permulaan dari sinar matahari,yang disebut siang. Sebelum itu didapat, lebih dahulu yang dipandang itu adalah cahayanya yang terang tersebut. Kemudian baru sinar yang menerangi itu, sinar itu menyatakan cahaya matahari. Meskipun tidak tampak, karena sinar itu tidak lepas dari matahari. Bahkan cahaya terang itu juga menyatakan adanya matahari, karena datang dari sinar yang ada pada matahari tersebut.
Maka apabila sudah lenyap dan fana segala yang lain daripada Allah Ta’ala dan sudah lenyap segala sifat-sifat kejadian,yakni majhor kenyataan,maka akan tercapailah makam baqa ; yang disebut juga makam tajali atau Nampak, makam Zuhur atau nyata; yang menghasilkan pandangan :
MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH MA’AH Artinya : tidak aku lihat sesuatu, yang Nampak bagiku Allah besertanya.
MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH QABLAH Artinya : tidak aku lihat sesuatu, kecuali yang Nampak bagiku Allah sebelumnya.
MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH BA’DAH Artinya : tidak aku lihat sesuatu, yang Nampak bagiku Allah sesudahnya.
MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH FI’IH Artinya : tidak aku lihat sesuatu, kecuali yang Nampak bagiku Allah dalamnya.
Demikianlah makam yang dicari setelah melewati fana dan fana ul fana.

Adapun yang dimaksud dengan fana oleh ahli tasawuf ialah : lenyapnya perasaan hamba dari nafsu basyariah,yakni segala sifat-sifat ke-ia-an dan ke akuan dari kemanusiaan,sudah takluk pada tuhannya, maka jadilah ia baqa dengan Allah Ta’ala.
Pertanyaan yang kedua adalah tentang diri.
Kapankah datangnya dan kapan pula kembalinya? Jawabnya ialah : bahwa diri bathin itu datang kedunia ini adalah setelah adanya jasad,sesuai dengan firman Allah : yang  artinya ; kemudian kami sempurnakan jasad itu, lalu ditiupkan roh kepadanya.
Dan pertanyaan yang ketiga dan yang ke-empat ialah :
Darimana diri itu datangnya den kemana pula kembalinya, serta apa maksud datang kedunia ini?
Jawabnya ialah : datangnya dari Allah dan kembalinya kepada Allah,adapun maksud datang kedunia ini adalah dengan jasad sebagai alatnya.
Karena sudah dijelaskan fasal yang lewat : yaitu laksana kuda tungganganya dengan penunggangnya. Kuda ditamsilkan sebagai jasad. Dan Roh sebagai penunggangnya. Pada fasal yang lalu sudah kita jelaskan bahwa perjalanan salik dalam mencari dan mengenal Zat Allah itu adalah dimulai dari bawah hingga kepada keatas atau yang disebut TARRAQI : misalnya dimulai dari tauhidul asma, tauhidul sifat, tauhidul af’al dan tauhidul Zat sampai kepada LA’MAUJUDA BIHAQQIN ILLALLAH, artinya : Tidak ada yang ada kecuali dia jua yang ada.
Sekarang kita mengambil dalil dari pada kaum sufi yaitu sudah dimufakati ber-sama bahwa : segala sesuatu selain Allah pada hakikatnya tidak ada,dengan kata lain semua itu tidak dapat dikatakan ada, sebagai adanya tuhan.
Disini hamba katakan bahwa semua itu Allah dan Allah itu semuanya. Ujud alam ain ujud Allah dan Ujud Allah ain ujud alam. Allah itulah hakikat Alam : maka wajarlah kita ini dengan Zat Allah atau Ujud Allah (rahasia Allah).
Berkata ABU HASSAN AS SYAZALI r.a Bahwa ; melihat Allah itu dengan penglihatan iman dan yakin, ini lebih kaya daripada melihat dalil-dalil. Lebih baik kita katakana bahwa; kita tidak akan melihat alam, dan andaikata ada juga, maka penglihatan itu atau penglihatan aribillah itu tak ubahnya laksana melihat debu terbang diangkasa yang pada penglihatan ada, tapi/namun dicari tak ada,artinya : tak dapat menangkapnya. Itulah perjalanan aribillah atau wali Allah ; yang telah sampai kepda makam fana dan makam baqa.

No comments:

Post a Comment