Mekanisme Kegagalan
“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.”
(QS-4:79)
“Kegagalan adalah pencapaian, hasil dari seperangkat kompetensi yang kita latih setiap hari.”
(Ikhwan Sopa)
Kita sering sekali sulit menerima kegagalan. Kita sedih jika kita gagal. Biasanya, kita langsung mencari “sesuatu” atau “seseorang” untuk disalahkan. Pada akhirnya, telunjuk yang menuding itu akan mengarah ke diri kita sendiri. Kegagalan sering membuat kita frustrasi.
Setiap kegagalan, adalah sebuah hasil pencapaian, dari serangkaian proses yang kita bangun sendiri. Kita membangun semua proses itu, dengan mengerahkan segala keahlian yang kita sendiri tidak menyadarinya. Keahlian itu, adalah keahlian untuk menjadi gagal.
Di satu sisi,
“Gagal hanya ada jika kita berhenti.”
Di sisi yang lain,
“Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results.”
Albert Einsten
Maka mengulangi lagi dan lagi, dengan hanya sekedar mengulangi saja, sama artinya dengan mengeksekusi kembali segala keahlian dan kemampuan kita untuk mencapai hasil yang sama, yaitu kegagalan. Kita perlu merubah keahlian dan kemampuan ini.
Kita sering tak menyadari, manakala kita terjebak pada fenomena “Self Fulfilling Prophecy” alias prediksi yang terpenuhi dengan sendirinya.
Di sisi yang baik, kita mengenal “pygmalion effect” atau “rosenthal effect”, di mana sebentuk pujian, semakin menguatkan perilaku yang dipuji.
Kita juga mengenal “placebo effect”, di mana suatu masukan, menjadi kebenaran karena pengaruh keyakinan dan kepercayaan.
Di sisi yang buruk, terjadi pula proses yang sama. Di antaranya, ya “self fulfilling prophecy” itu tadi, yang dalam hal ini adalah prediksi buruk yang menjadi kenyataan.
“Waduh… bakal gagal neh.” “Alah… saya mah emang nggak becus.” “Aku ini emang nggak cocok jadi pengusaha.”
Dalam berbagai literatur, ungkapan-ungkapan di atas dianggap mencerminkan sebentuk “cetak biru” bagi pribadi. Menunjukkan sebentuk cara pandang tentang diri sendiri. Ketika cara pandang ini telah diterima sebagai keyakinan, karena terus-menerus disuntikkan ke dalam pikiran, ia akan merembes menjadi “cetak biru” yang dianggap benar.
Cetak biru ini, oleh para pakar sering disebut sebagai “self image”. Mereka meyakini, bahwa setiap orang, dengan apapun yang menjadi sikap, perilaku, dan keputusannya, tak akan bergerak jauh dari “cetak biru” ini.
Sejak ia dianggap benar, maka segala sikap dan perilaku, akan bergerak berdasarkan inspirasi itu. Kita tak boleh lupa, bahwa kita adalah makhluk inspirasi dan makhluk aspirasi. Kita selalu cenderung mengambil referensi dari dalam diri sendiri – sekalipun itu adalah hasil cetakan dari luar diri, untuk kemudian mengejawantahkannya keluar, ke dalam kehidupan pribadi.
“Self fulfilling prophecy” bekerja dengan “positive feedback”, yaitu bentuk respon ke dalam diri sendiri, di mana respon itu akan menyediakan umpan balik, bagaimanapun status dari suatu keadaan, baik benar maupun salah.
Saya jadi ingat, di dunia auditing dan akuntansi ada model konfirmasi positif dan konfirmasi negatif (saya seorang akuntan – register D-16804). Konfirmasi positif adalah sebentuk konfirmasi yang disampaikan, baik ada atau tidak ada penyimpangan. Konfirmasi negatif adalah sebentuk konfirmasi yang disampaikan, hanya jika ada ketidakcocokan.
Uniknya, dalam hal “self fulfilling prophecy” setiap feedback (positive mode) akan diacu kepada sesuatu yang dianggap benar sedari awal (“cetak biru”), dan bahkan, dengan kekuatan emosional menjadi “dibenarkan”, karena kita ingin bahwa itu benar. Sekalipun, feedback itu menyatakan “something is wrong”. (Kalo nggak mudeng nggak usah dibahas, lanjut aja langsung ke bawah… ane juga mumet)
Berikut ini adalah dua poin yang punya peran, dalam menciptakan “cetak biru” bagi diri sendiri. Inilah sebagian, dari sekian banyak hal, yang telah “membantu” seseorang dalam merumuskan jati dirinya dengan salah arah, inilah yang telah “membantu” seseorang dalam membangun “kompetensi kegagalan”.
1. Labelling atau Atribusi
Ini terjadi, ketika seseorang telah secara sadar atau tidak sadar, menyalahgunakan kemampuan pikirannya yang sangat khas, yaitu “generalisasi”. Jika sedari kecil seseorang sering mendapatkan labeling buruk yang disertai dengan kata-kata “pemastian”, misalnya “dasar”, “memang” atau kata-kata yang secara langsung mengacu kepada jati diri seperi “kamu ini”, atau bahkan kombinasi dari semua itu sekaligus, maka proses “generalisasi” langsung mengambil peran. Pelan tapi pasti, cetak biru ini terbentuk dan terbawa hingga dewasa.
“Dasar anak nakal!”
“Memang kamu ini nggak bisa apa-apa!”
“Kamu ini bener-bener guoblok!”
Waktu akan memastikan, hingga pikrian dan perasaan sang obyek penderita dari kalimat-kalimat itu menjadi kelelahan, dan kemudian menerima dan membiarkannya menjadi bagian dari kehidupan dan menjadi bagian dari jati diri. Lambat-laun, kalimat-kalimat itu akan bergaung dan menggema di seluruh ruang hatinya.
“Ya!”
Hanya dua huruf itu saja yang diperlukan, untuk mengaktivasi keterampilan menuju kegagalan. Sebab hati adalah panglima, dan pikiran adalah komandannya. Sementara perasaan, hanya ingin ketenangan. Apalagi yang bisa dilakukan kecuali meneriakkan dua huruf itu kuat dan kencang di dalam hati? Mereka toh orang tua saya yang harus saya hormati? Saya kan masih tinggal dan menggantungkan hidup saya pada mereka? Bukankah hanya mereka orang-orang yang penting dalam hidup saya? “Ya! Saya memang begitu.”
Ketika dewasa dan sangat ingin mengatakan “tidak”, semuanya telah terlambat. Sangat terlambat.
Sambil terus menyesali diri, ia yang menjadi korban benar-benar menempatkan dirinya sebagai korban. Di sela-sela kesedihan, ia berontak sekuat tenaga dan berusaha melawan. Ia masuk pada jebakan berikutnya.
2. Harus, Mesti, Pokoknya
Kesadarannya yang telah dewasa mengatakan pada dirinya, “Aku tak bisa terus begini! Aku adalah juara!”
Kemudian ia melanjutkan,
“Aku harus…”
“Aku mesti…”
“Pokoknya aku mau…”
Ia lupa, memaksakan diri untuk semua itu, justru menjebaknya sekali lagi. Ia membebani dirinya terlalu jauh, dan ia meletakkan beban terlalu berat di pundaknya. Ia langsung “menembak” tanpa lebih dahulu “membidik”. Titik targetnya, adalah dirinya sendiri. Ia telah menguatkan kemampuannya – untuk gagal sekali lagi.
Ia lupa, bahwa langkah pertama yang diperlukannya adalah belajar menyukai diri sendiri – http://goo.gl/nFGzd. Dan ini, hanya bisa dilakukannya dengan menelusuri kembali “draft awal” dari “cetak biru”-nya. Sebab, “cetak biru” itu sudah terlanjur menjadi acuan.
Kalimat-kalimatnya yang dipengaruhi “draft awal” itu sebenarnya berbunyi begini,
“Aku harus…, jika tidak maka…”
“Aku mesti…, jika tidak maka…”
“Pokoknya aku mau…, jika tidak maka…”
Apapun kata dan kalimat setelah kata “maka” adalah bibit-bibit bagi “self fulfilling prophecy”-nya. Dengan cetak biru yang sudah dianggap “benar”, segala sikap, perilaku, dan tindakan, akan mengarahkannya menuju realisasi dari segala yang mengikuti “maka” itu.
Ia perlu bekerja dua kali, tantangannya lebih besar lagi. Ia perlu melakukan re-imprint untuk “cetak biru”-nya sekali lagi, dan kini dengan sikap penerimaan diri yang lebih baik dan tak diwarnai dengan kemarahan. Ia perlu melakukan review dan koreksi. Ia perlu melakukan introspeksi sekali lagi dengan sungguh-sungguh mencintai diri sendiri dan memaafkan kesalahannya sendiri. Ia perlu melakukan “re-definisi” diri.
Langkah pertama yang dapat dilakukannya, adalah mengurusi huruf pertama dari F.A.I.L.U.R.E., yaitu “f” alias frustrasi.
Sedikit frustrasi memang baik bagi siapa saja, sebab setiap tindakan dan perbuatan kita memang tak pernah lebih baik dari yang kita niatkan. Sedikit-sedikit frustrasi, adalah tanda-tanda sakitnya. Akar dari penyakitnya ada dua atau kedua-duanya yaitu:
1. Tujuannya kurang realistis, karena dirinya belum siap, atau
2. Telah terjadi “salah pengembangan diri”, atau kedua-duanya.
Ia perlu menyederhanakan cita-citanya, menjadi lebih realistis sesuai dengan keadaan dirinya. Pada saat yang sama, ia perlu berlatih menyukai dirinya sendiri berbarengan dengan upaya mengembangkan dirinya hingga menggeser keahlian dan kemampuan; dari gagal yang otomatis menjadi berhasil yang otomatis.
Jika ini tidak dilakukan, maka terjadilah apa yang sering kita temukan dalam keseharian, yaitu orang-orang yang tersiksa oleh cita-citanya sendiri. Stress, atau bunuh diri. Naudzubillahi min dzaalik!
Mari kita berhitung, seberapa sering kita frustrasi? Jangan-jangan bukan karena kita tidak pandai melakukan sesuatu, tapi karena kita lupa memandaikan auditing diri.
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment